Minggu, 11 April 2010

“Hadiah” untuk Satu Abad Kota Jayapura – Port Numbay


Semenjak koloni Belanda mengibarkan bendera 3 warna pada 7 Maret 1910 di Numbay oleh, kapten infanteri FJP Sachse dan menamakannya menjadi Hollandia sesuai dengan letak geografis yang berbukit-bukit dengan gugusan melengkung dan berteluk, dimana sesuai dengan peta lama tahun 1960-an kami melihat kota Hollandia berkembang sampai ke Hollandia Binnen (Abepura sekarang) dengan menunjukan keaslian sungai-sungai yang mengalir yang sebenarnya berasal dari hulu kawasan gunung Cycloop seperti mata air kali Acai yang bermuara di Abenan di teluk Youtefa, begitupun muara-muara kali di Entrop (PTC sekarang) yang sebelumnya tertampung di kawasan hutan sagu dan mangrove yang luasnya kira-kira 9000 hektar, sebagai sumber makanan penduduk asli Tobati, Injros, Kayopulo,Kayobatu,Skow,Nafri dan juga warga lokal yang telah lama bermukim disekitarnya seperti Yapen Waropen, Biak, Maluku dan lain-lain Begitupun Sungai Anafre, Nubai dan lain-lain juga demikian, dengan bermata air dari gugusan pegunungan Cycloop kemudian bermuara langsung, dan menumpahkan banyak plankton sebagai makanan bagi berbagai macam ikan disekitar teluk Humboldt dan teluk Imbi dimana sangat mendukung bagi kehidupan penduduk asli sebagai nelayan, yang ternyata diapresiasikan dalam bentuk ornament rumah adat serta motif kebudayaan. Untuk menghargai hal itu pemerintah Hollandia waktu itu mensyukuri dengan peringatan makna 50 tahun, sesuai dengan buku yang berjudul : Ein Gouden Jibeleum 50 yaar Hollandia, van 7 Mart 1910 tot 7 Mart 1960.

Diawal tahun 2010 ,sebelum sebulan dalam memperingati satu abad para tukang sablon mengais rejeki besar dengan adanya maklumat dari pemkot sebagai keharusan menghiasi kota, dengan bertebarannya spanduk-spanduk yang kelihatannya masyarakat umum baru sadar ada satu abad di kota Jayapura sebagai akibat kurangnya edukasi muatan lokal, tetapi puncak acara peringatan dapat dilihat maknanya ketika peringatan pekabaran Injil masuk di tanah Tabi pada 10 Maret 2010 yang diselenggarakan sesuai dengan sejarah di Metudebi–Teluk Youtefa .Ketika itu ada perahu tradisional yang belayar dari Sowek-Kabupaten Supiori, tiba dengan membawa obor lambang terang dunia. Untuk melengkapi satu abad itu hampir setahun pembangunan tugu pekabaran Injil yang megah diresmikan juga, walaupun belum ada tertera dibatu nisan yang sederhana akan nama-nama penabur di “kebun anggur” selama satu abad yang lampau, agar mereka yang diutus akan karya ilahi di tanah Papua dapat dikenang selalu oleh anak cucu. Hal ini mungkin dapat terjawab dengan menyimak dan merenungi sebuah buku bersejarah yang digali dari segala aspek yang berjudul : “Seratus Tahun Injil Masuk di Metudebi” .Buku ini dikerjakan dalam kurun waktu 2 tahun oleh Rudy Mebry untuk menunjang hasrat dan inisiatif demi melengkapi kenangan peristiwa besar ini maka masyarakat GKI di gereja Abara kampung Injros semenjak tahun 2004 mempersiapkan diri dengan segala keterbatasan dan tantangan untuk membangun gereja yang baru dan memamg terletak diatas laut tetapi pada awal pembangunan waktu itu setelah air surut 3 malam 4 hari maka fondasi cakar ayam dapat diletakkan diatas pasir dengan percaya Injil adalah kekuatan Allah, akhirnya pembangunan gereja Abara dapat diwujudkan juga pemakaiannya pada 9 Maret 2010. Patut disyukuri akan kerja keras dan dukungan tanpa pamrih berupa materil dan moril yang sekaligus menjaga eksistensi keberadaan kampung-kampung yang ada di teluk Youtefa dilihat dari gerakan moral dalam mengantar lauk pauk dan lain-lain pada malam hari sebelum besoknya gereja di tahbiskan. Pasca kegiatan awal pentahbisan gereja disyukuri pula, telah dibaptis 100 anak pada tanggal 14 Maret 2010 sebagai harapan agar mereka akan menjadi saksi dan bisa berdiri dijalur depan untuk menggantikan tongkat estafet bagi mereka yang tiada nanti.

Jelasnya peristiwa demi peristiwa berlalu menjadikan catatan, apakah kita sebagai generasi di jaman NKRI ini mau menjaga identitas kota yang nyatanya visi dan misi tidak dicernakan dengan baik karena secara sadar atau tidak sadar kita sendiri secara perlahan dan pasti sudah menghancurkan kota ini terbukti dan tidak dipungkiri bahwa kawasan teluk Youtefa sudah tercemar,padahal disitulah nilai sejarah pintu gerbang awal pembentukan kota. Berhubung karakter kita hanya datang dan menjadi penghuni tetap kawasan Port Numbay tanpa memikirkan lingkungan yang tergradasi, padahal begitu banyak orang pintar disekitar kita yang dapat diajak dan membuka mata,telinga,maupun hati agar bersama-sama tanpa pamrih dapat meluangkan waktu,tenaga,pikiran dan ide agar kota Jayapura dapat menjadi barometer bagi kota lain ditanah Papua dimana kita bersama-sama dapat mewujudkan kota yang bersih dan ramah lingkungan. Apakah cukup dengan hanya menggantung spanduk-spanduk di toko, kios, kantor pemerintah dan swasta,warung,dan lain-lain dengan slogan selamat dan sukses satu abad kota Jayapura.. Selanjutnya anda boleh menjawab, apakah anda dapat mulai dengan hal sederhana saja yaitu apakah semudah itu anda membuang sampah sembarangan maka apakah bisa semudah itu pula anda dapat memungutnya kembali dan menempatkan ditempat yang benar. Kitapun tahu bagaimana topografi kawasan kota bila terjadi musim hujan maka sangat menunjang perembesan air yang mengalir dan bermuara ke teluk Youtefa. Begitupun muara Anafre dan muara lain di teluk Imbi menumpahkan sampah kelautan lepas tetapi secara alamiah akan terdampar karena ada arus balik dari laut yang membawa sisa sampah masuk juga ke kawasan teluk Youtefa, kenyataannya kantong plastik selalu menghambat putaran baling-baling dari motor tempel kepunyaan masyarakat. Lagi pula bukan lagi ikan yang teerjaring tetapi sampahpun turut serta. Tidak ada data dan transparansi dari pihak terkait akan tingkat pencemaran yang jelas kepada publik sehingga kesemrawutan terjadi, keadaan ini membuat pergulatan dan perobahan perilaku untuk mempertahankan hidup bagi masyarakat lokal asli Port Numbay, ataukah ini bagian dari “hadiah” satu abad kota yang kami berikan kepada mereka ???

Anakan pohon bakau itu sedang berjuang untuk hidup karena dia berada diatas plastik sampah dan dia tidak bisa lagi tertancap diatas lumpur. Bunga karang itu kaku dan tidak bisa bernafas lagi karena airnya tercemar. Makanan lokal berupa siput telah mengandung racun sebagai tanda begitu parahnya kehidupan sekitarnya. Teluk Youtefa sebagai potret yang menjadi “Icon” kawasan wisata alam yang tertuang dalam kawasan lindung yang hanya berupa undang-undang belaka ( ketetapan peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 26 tahun 2008 ). Apakah potret yang di banggakan itu hanya terpampang diruang tamu saudara ??? Dengan potret itu anda sudah menikmati keindahannya dan bahkan sudah memberi kehidupan bagi anda bila dijual tetapi apa yang anda berikan kepada dia. Bukan kelapa muda saja yang anda makan di kawasan Skyline tetapi sedotan plastik yang terus anda lemparkan kejurang, seakan-akan anda lecehkan keindahannya. Tetapi masih ada apresiasi berupa rekor Muri untuk makanan lokal Papeda terpanjang 380 m, diselengggarakan kelompok Orang Muda Papua untuk dikonsumsikan 6000 orang dalam rangka satu abad ini. Semoga saat itu juga ada sosialisasi sampah dari sisa wadah yang digunakan untuk makanan tetapi saat itu mungkin belum sempat.

Terima kasih, Tuan-Tuan ! Itulah “hadiah” yang anda berikan berupa limbah padat dan cair yang terus menerus mengalir setiap detik di satu abad ini dan satu abad nanti. Save The Port Numbay Green.Wanyam bey ! (Andre Liem )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar